Selasa, 13 Maret 2012

Bagaikan Tikus Mati di Lumbung Padi


Saya pernah mengunjungi desa kecil di atas gunung kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Desa tersebut berada di wilayah Kabupaten Bogor dan dikelilingi oleh perkebunan teh yang sangat menyejukkan mata. Tetapi desa tersebut masih sangat sederhana bahkan bisa dikatakan jauh dari perkembangan modernisasi. Rumah penduduk terbuat dari dinding kayu dan berbentuk rumah panggung. Biasanya di bawah rumah panggung menjadi tempat tinggal hewan peliharaan pemilik rumah seperti ayam dan bebek. Pekerjaan warga setempat adalah pemetik teh.

Di desa tersebut tidak ada sekolah satu pun, sekolah dasar terdekat berjarak kurang lebih 20km. Saya tidak jarang melihat para remaja yang berusia kurang lebih 14-17th sedang bekerja memetik teh di saat jam sekolah. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan di desa tersebut hanya sebatas sekolah dasar saja. Bahkan ada penduduk yang tidak bisa berbahasa Indonesia.

Saya merasa miris sekali melihat desa yang berada di tengah-tengah perkebunan teh yang sangat luas tetapi jauh dari kata sejahtera. Kebun teh tersebut adalah milik sebuah pabrik teh yang sangat besar. Bahkan di kawasan tersebut terdapat pertambangan emas. Seharusnya dengan kekayaan alam yang sangat melimpah warga desa tersebut dapat hidup dengan sejahtera.

Saya merasa sangat heran mengapa pemilik perkebunan teh tidak memiliki rasa sosial sedikit saja seperti mendirikan sekolah, memberikan kehidupan yang layak kepada warga desa, atau setidaknya memperbaiki jalan agar warga tidak ‘terisolasi’. Padahal warga desa tersebut tidak lebih dari 50 kepala keluarga. Apakah mereka takut warga sekitar menjadi pintar dan menyadari apa saja yang seharusnya mereka dapatkan?

Saya jadi teringat perumpamaan yang sering diucapkan oleh dosen saya yang bernama Ibu Dionysia, yaitu bagaikan tikus yang mati di lumbung padi. Mungkin perumpaan ini sangat tepat bagi rakyat Indonesia. Bagaimana bisa rakyat Indonesia terjerat kemiskinan padahal berada di tengah-tengah kekayaan alam yang luar biasa? Bagaimana bisa pemerintah kita menjual kekayaan alam Indonesia padahal rakyat Indonesia belum sejahtera?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar